Mencakup pengertian,
kondisi dilematis, pendapat para pemikir dan filsuf terkenal, hingga bahan yang
dipelajari akademisi hingga kini.
Pengertian Etika
Etika berasal dari
Yunani kuno “ethikos”, yang berarti “timbul dari kebiasaan", adalah sebuah
sesuatu dimana dan bagaimana cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau
kualitas yang menjadi studi mengenai
standar dan penilaian moral. Etika mencakup analisis dan penerapan
konsep seperti benar, salah, baik, buruk dan tanggung jawab (Ensiklopedi
bebas). Etika telah menjadi isu hangat dalam pemikiran filsafat moral dewasa
ini. Hal itu karena etika mengangkat masalah tanggung jawab di masa ketika
tanggung jawab seakan-akan telah digantikan sepenuhnya oleh ketidakpastian dan
relativisme. Etika filosofis secara
harfiah dapat dikatakan sebagai etika yang berasal dari kegiatan berfilsafat
atau berpikir, yang dilakukan oleh manusia. Karena itu, etika sebenarnya adalah
bagian dari filsafat; dan etika lahir dari filsafat. Etika termasuk dalam filsafat, karena itu berbicara etika
tidak dapat dilepaskan dari filsafat [butuh rujukan]. Karena itu, bila ingin
mengetahui unsur-unsur etika maka kita harus bertanya juga mengenai unsur-unsur
filsafat.
Pada
kesempatan ini yang akan dibahas adalah dilema-dilema politik etika dan
kecemasan eksistensial manusia. Terdapat argumen-argumen para pemikir moral
besar seperti Socrates, Plato, Aristoteles, Hobbes, Kant, dan lain-lain.
Menurut Aristoteles, fungsi utama suatu negara adalah untuk memungkinkan suatu
kelompok manusia melakukan pembahasan-pembahasan filsafat dan pada akhirnya
sepakat dengan suatu kode etik bersama. Menurut Socrates setelah terbentuknya masyarakat
dan bernegara, kita harus mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang moral.
Negara bisa saja memutuskan apa yang benar dan salah menurut hukum, tetapi
hukum dan moralitas tidak sama.
Filosof
individualis maupun komunitarian enggan mendefinisikan etika sebagai sekadar
“aturan main organisasi” yang disepakati dan dirumuskan oleh
anggota-anggotanya. Keduanya ingin mengesahkan etika komunal atau perlunya
moralitas individual dengan mengajukan semacam gagasan yang netral.
10 pertanyaan utama ; para filosof mengajukan
beberapa pertanyaan yang ganjil dan aneh. Pertanyaan-pertanyaan ini penting
walaupun jawaban-jawaban jelas dan positif yang tersedia sangat sedikit.
- Apakah ada perbedaan antara hukum moral dan
hukum masyarakat ?. Jika ada, mengapa ?
- Seperti apakah manusia itu pada dasarnya egois
dan serakah atau pemurah dan ramah?
- Apakah sebagian orang "lebih baik" dalam moralitas daripada yang lain, atau apakah setiap orang sama-sama mampu berbuat baik ?
- Apakah sebagian orang "lebih baik" dalam moralitas daripada yang lain, atau apakah setiap orang sama-sama mampu berbuat baik ?
- Adakah cara yang baik untuk mendidik anak agar
mereka bermoral ?
- Apakah setiap orang berhak memberitahu orang
lain arti kebaikan dan kejahatan ?
- Adakah jenis-jenis tindakan tertentu (seperti
menyiksa anak) yang selalu salah ? Jika ada, apakah itu ?
- Jawaban apakah yang paling baik menurut Anda untuk pertanyaan : “Mengapa saya harus menjadi orang yang baik ?”
- Jawaban apakah yang paling baik menurut Anda untuk pertanyaan : “Mengapa saya harus menjadi orang yang baik ?”
- Apakah etika merupakan suatu cabang pengetahuan
khusus ? Jika ya, pengetahuan macam apakah itu dan bagaimana kita bisa
memahaminya ?
- Apakah moralitas berarti mematuhi sekumpulan aturan atau menyangkut pemikiran
yang saksama mengenai akibat-akibatnya suatu tindakan ?
yang saksama mengenai akibat-akibatnya suatu tindakan ?
- Ketika manusia berkata “Saya tahu membunuh itu
salah” apakah mereka tahu itu salah atau hanya sangat percaya dengan
pernyataan demikian ?
Rasanya tak ada suatu masyarakat yang para anggotanya beranggapan bahwa membunuh sesama dapat diterima. Walaupun kadang terjadi pembunuhan berantai di masyarakat, sebagian besar kita tetap menganggapnya sebagai suatu penyimpangan, atau bahkan “tidak manusiawi”. Selalu ada peraturan-peraturan mengenai kapan manusia boleh membunuh manusia lain, biasanya orang luar yang ditentang orang dalam. Pemahaman moral semacam ini sering ditentukan dan diatur oleh berbagai jenis larangan hukum dan agama. Tampaknya manusia enggan menerima kenyataan bahwa moralitas adalah sesuatu yang ditemukan oleh manusia sendiri dan dengan demikian cenderung membenarkan peraturan moral dengan memitologikan asal-muasalnya: “Orang-orang tua dulu bilang duduk di pintu itu salah”. “Cerita tentang etika kadang-kadang berupa gambaran usaha untuk membenarkan moralitas semacam ini.
Moralitas dan Agama
Sebagian besar orang yang hidup dalam
lingkungan Kristen Eropa beranggapan bahwa mereka mendasarkan kepercayaan etis
dan tingkah laku mereka pada Sepuluh Perintah Tuhan, firman Tuhan kepada Nabi
Musa (Dari kesepuluh perintah itu, kira-kira hanya enam yang menyangkut
etika, sisanya lebih mengacu pada upacara dan ritual keagamaan). Apakah agama
merupakan moralitas ?. Apakah bermoral adalah masalah mematuhi perintah
perintah Tuhan ? Individu yang berpikiran independen, seperti Socrates (dalam Euthyphro karya Plato), berkata bahwa
moralitas lebih dari sekadar kepatuhan pada agama. Satu alasan untuk ini adalah
perintah agama bervariasi dari satu agama ke agama lain. Kaum ateis dan
agnostik menolak mematuhi perintah apapun dari Tuhan yang mereka anggap salah.
Agama semata tampaknya tidak cukup memuaskan untuk menjadi landasan etika manusia. Yang dicari para filosof adalah jalan untuk menjustifikasi nilai-nilai moral yang terlepas dari
keyakinan agama.
Moralitas dan Fitrah Manusia
Satu jawaban alternatif adalah
mengatakan bahwa moralitas datang bukan dari sumber supernatural di
luar, melainkan dari dalam diri kita sendiri. Hal ini merupakan salah satu
pertanyaan besar sepanjang zaman. Pemikiran tentang etika sering dimulai dengan
asumsi mengenai fitrah manusia, baik negatif maupun positif. Misalnya, pengertian
Kristen tentang “dosa asal” memberikan pandangan bahwa fitrah kita pada
dasarnya buruk. Jika ini masalahnya, lingkungan sosial dan sanksi-sanksi resmi kitalah
yang memaksa kita jadi bermoral. Namun kebanyakan kita tidak menyiksa anak kecil
hanya karena takut ditangkap polisi.Walaupun DNA memiliki sedikit pengaruh
atau tidak sama sekali pada watak moral kita, mungkin kita memang hasil
lingkungan sosial dan budaya. Pada saat lahir, kita merupakan selembar kertas
kosong yang secara bertahap ditulis oleh orangtua, guru, kelompok umur, media,
dan semua kekuatan ideologis lainnya. Pengaruh sistem masyarakat pada
kepribadian moral kita pada dasarnya lebih kuat daripada turunan genetik apapun
dan nyaris bertanggung jawab penuh atas apa pun yang menjadikan kita manusiawi
dan bermoral.
Absolutisme Etika
Bila ada banyak kepercayaan moral yang
berseliweran di sekitar kita, yang mana yang benar ?. Bagaimana dapat kita
buktikan kalau kepercayaan seseorang itu benar da yang lain salah ?. Kebanyakan
kaum relatif akan berkomentar tidak ada jalan yang memungkinkan untuk
memutuskan apapun, dan tidak ada sama sekali hal-hal seperti “pengetahuan”
moral. Skeptisisme semacam ini membuat khawatir para filosof lain yang
beranggapan pasti ada suatu aturan moral bersama yang selalu benar. Para filosof ini sering disebut kaum “Universalis”,
” Realis”,
atau “Absolutis”. Ketiganya akan mengatakan nahwa mengorbankan bayi itu
salah,apa punjenis kepercayaan budaya yang mendorong atau mengizinkan praktik
ini. Absolutisme etika berbahaya
karena bisa melegitimasi satu budaya kuat untuk memaksakan nilai-nilai moral
lokal miliknya pada semua budaya lain, dengan mengklaim monopoli “kebenaran”
moral. Bangsa Eropa juga telah menjadi saksi,dan penyebab, kehancuran ratusan
budaya unik beserta kepercayaan moral mereka. Sekarang kita mencoba cara-cara
yang kurang memadai untuk melindungi budaya suku “polos” dan “primitif” dan
merasa sangat malu ketika mendengar usaha pembinasaan mereka. Saat ini sebagian
besar kaum liberal dan akademis Eropa tidak mau mencampuri kepercayaan moral
dan adat istiadat budaya lain. Kaum Absolutis mengatakan ada suatu “pengetahuan
moral” yang nyata. Ada kepercayaan moral yang “benar” dan ada yang
“salah”, hanya saja kita belum dapat mengetahui dengan tepat bagaimana
membuktikan keduanya.
Tiga filsuf kuno Plato, Socrates, dan Aristoteles
Metoda Socrates
Socrates tidak pernah dogmatis atau otoriter. Bagi kaum muda, dia
tampak seperti guru. Socrates meyakini bahwa yang terpenting bagi manusia
adalah bertanya. Pengetahuan moral yang nyata menurutnya mutlak ada dan perlu
diraih. Menurutnya, “kehidupan yang tidak diperiksa adalah kehidupan yang
tidak layak dijalani”. Gagasan ini cukup menganggu. Pertanyaan mengenai
kehidupan moral sangat dihindari oleh kebanyakan orang dewasa~mereka lebih suka
mencari uang dan terbenam dalam kehidupan rutinnya. Socrates biasanya mulai
dengan membingungkan orang dengan pertanyaa “Apakah kelakuan baik itu?”, atau
“Apakah negara itu ?”, lambat laun ia menyingkap betapa sedikitnya yang
diketahui masyarakat tentang moralitas atau politik. Ditekankan olehnya bahwa
orang yang bijak adalah “orang yang tahu kalau dia tidak tahu apa-apa”.
Socrates menyempurnakan metode pencarian yang dibanggakan kaum filosof masa
kini. Bagi kaum muda, dia tampak seperti seorang guru. Socrates meyakini bahwa
yang terpenting bagi manusia adalah bertanya. Pengetahuan moral yang nyata
menurutnya mutlak ada dan perlu diraih. Menurutnya, “kehidupan yang tida
diperiksa adalah kehidupan yang tidak layak dijalani”. Socrates biasanya mulai
dengan membingungkan orang dengan pertanyaan “Apakah kelakuan baik itu ?”, atau
“Apakah negara itu ?”, lambat laun ia menyingkap betapa sedikitnya yang
diketahui masyarakat tentang moralitas atau politik. Ditekankan olehnya bahwa
orang yang bijak adalah “orang yang tidak tahu kalau dia tidak tahu apa-apa”.
Socrates menyempurnakan metode pencarian yang dibanggakan kaum filosof masa kini.
Etika Socrates : Kenali Dirimu Sendiri
Socrates memiliki beberapa kepercayaan
moral. Seperti kebanyakan orang Yunani, ia menganggap menusia seperti layaknya
benda buatan yang mempunyai tujuan atau fungsi (disebut pandangan teleologis). Kita telah diprogram
sebelumnya dengan suatu “perangkat lunak”. Tugas kitalah menemukan kode-kode
itu dan melaksanakannya dengan tepat. Moralitas bukan sekedar mematuhi
hukum, melainkan sesuatu yang lebih spiritual. Begitu kita mengetahui siapa diri kita, kita akan mengetahui
bagaimana sebaiknya bersikap.
Republik Plato
Murid Socrates yang paling terkenal
adalah seorang aristokrat muda bernama Plato
(428-354 SM) yang tidak pernah memaafkan kaum demokrat Athena yang telah
membunuh gurunya. Demokrasi menurut Plato berarti kericuhan dan berkuasanya
sekelompok mafia ganas dan berdarah dingin yang mudah diperalat oleh para
politikus.
Plato versus Kaum Sofis
Plato mengangkat pertanyaan-pertanyaan
politis dan moral tentang “negara”~mengapa menjadi warga negara adalah
sesuatu yang tidak terelakkan, sama halnya dengan bernapas, mengapa diperlukan
kesetiaan pada negara, mengapa harus mematuhi hukum, dan mengapa itu baik ?, Republic
dibuka dengan dialog yang mencerminkan pandangan Socrates~sejumlah kaum Sofis
dibiarkan mengemukakan pandangan mereka tentang hukum dan moralitas. Plato
adalah seorang yang percaya akan dua dunia. Ia percaya adanya dunia materi yang
jahat (fana) dan dunia lain yang lenih murni. Yang dikatakan Plato tentang
pengetahuan kita mengetahui dua dunia ini sesuai dengan apa yang diyakininya
tentang moralitas dan ilmu politik. Menurutnya, ada dua jenis pengetahuan:
pengetahuan empiris (yang dicapai
melalui indra) dan pengetahuan lain yang dicapai melalui akal. Jenis kedua ini bersifat tetap dan abadi. Sesungguhnya tiap
manusia dapat mencapai pengetahuan empiris karena kebanyakan manusia memunyai
lima indra. Hanya sedikit pakar yang mendapatkan pengetahuan “nyata”, karena
memerlukan kemampuan dan latihan khusus untuk “melihat” secara batiniah. Plato
adalah seorang rasionalis ~ seorang
filosof yang percaya bahwa pengetahuan nyata berasal dari akal. Menurutnya: Dunia
fisik yang kita alami tiap hari merupakan bayang-bayang “setengah nyata”:
pengetahuan tentang dunia hanya “pendapat” tingkat tiga. Salah satu sumber
kepercayaan ini adalah matematika. Semua kaum cendekiawan Yunani terkagum-kagum
pada pesona, ketetapan, dan kemurnian matematika. Bilangan tidak terdapat dalam
dunia nyata, melainkan di dalam kepala dan tempat lain yang abstrak dan mungkin
spiritual. Plato berpendapat semua pengetahuan mungkin saja permanen dan tidak
berubah seperti ilmu matematika.
Dunia Bentuk
Menurut Plato, dunia indra keseharian
diungguli oleh suatu dunia “bentuk”
yang luar biasa dan menakjubkan. Kesimpulan politis untuk semua ini adalah
bahwa pengetahuan mutlak sempurna adalah sesuatu yang hanya dimiliki sedikit
individu. Mereka menurut Plato, harus dijadikan panutan oleh orang lain. ”Para
pengawal” ini akan selalu tahu jawaban yang tepat bagi setiap masalah dan apa
yang harus dilakukan.
Masyarakat Tertutup
Plato
adalah seorang absolutis moral yang meyakini bahwa pengetahuan moral “dokodifikasi”
di jagad raya. Sejumlah ahli matematika berpendapat bilangan juga demikian. Akan
tetapi, adakah “fakta” moral, sebagaimana ada fakta jerapah atau segitiga ?.
Absolutisme etik seperti mengasumsikan model birokratis tentang bagaimana
seharusnya suatu moralitas~pengetahuan yang hanya dipahami oleh para pakar.
Plato berasumsi bahwa moralitas individu dan moralitas negara adalah sama. Hal
ini bisa menuju ke araj tirani represif yang diatur oleh kaum “elite” yang
menilai manusia hanya dari besarnya sumbangan mereka kepada negara. Banyak orang
pada abad ini mengalami peristiwa yang tidak menyenangkan dari masyarakat
tertutup yang diatur oleh sekelompok kaum elite yang terus menerus mewenangkan
diri sendiri sebagai sebuah kebenaran monolitik terpusat.
Aristoteles dan Etika Akal Sehat
Aristoteles (382-322 SM) adalah murid
Plato. Dia berasal dari Yunani Utara. Aristoteles menjadi guru pribadi Kaisar
Aleksander Agung dan akhirnya mendirikan universitas sendiri~Lyceum. Dia setuju dengan Plato bahwa
manusia sebenarnya adalah makhluk sosial. Sebaiknya diatur dalam negara.
Namun, menyangkut moralitas, Aristoteles lebih pragmatis. Menurutnya : Etika
adalah masalah mendasar yang harus ditentukan oleh manusia biasa berakal
praktis, bukan oleh “ahli” pertapa yang akalnya bersemayam di dunia yang jauh.
Aristoteles lebih tertarik pada apa yang dipikirkan orang biasa tentang
moralitas sehari-hari.
Pandangan Teleologis dan Jalan Tengah
Dalam
Etika Nichomachean, Aristoteles
menekankan bahwa ia tidak tertarik pada abstraksi jauh seperti “Kebajikan dalam
dirinya sendiri”. Dia lebih tertarik pada kebajikan yang dilakukan kebanyakan
orang dalam kehidupan keseharian mereka. Menurutnya : Segala sesuatu mengarah
pada satu tujuan untuk masing-masing. Sama seperti sebilah pisau yang
dimaksudkan untuk memotong dengan baik, manusia merasa puas dan bahagia jika
mereka berfungsi dengan baik. Seolah-olah manusia sudah diprogram oleh “perangkat
lunak moral” berisi keadilan, kejujuran, kesederhanaan, dorongan, dan
seterusnya, namun terserah pada manusia untuk merealisasikan potensi penuhnya.
Orang-orang berakal sehat melakukannya dengan memilih “jalan tengah” di antara yang
ekstrim. Sebagai manusia yang baik, kita seharusnya menjadi berani, bukan
menjadi ceroboh dan lemah. Aristoteles juga dengan gamblang menyatakan tentang
tanggung jawab moral~jika kamu memilih melakukan sesuatu yang salah, maka kamu
harus dihukum karenanya.
Universitas
Lyceum
Orang yang Baik tapi Membosankan
Sosok
ideal Aristoteles adalah seorang lelaki warga Athena setengah baya pengguna
akal sehat yang tenang dan rasional, menghindari hal-hal ekstrem, dan paham
bagaimana bertindak berdasarkan pengalaman. Ia secara psikologis akan puas
terhadap diri sendiri. Kita menjadi bermoral secra psikologis akan puas terhadp
diri sendiri. Kita menjadi bermoral dengan melatih diri melakukannya, seperti
halnya belajar piano dengan berlatih. Pada awalnya, orangtua dan guru mendorong
kita bermoral, tetapi setelah beberapa lama kita menjadi orang bermoral secara
instinktif. Pertanyaannya, apakah pada jaman sekarang diajarkan pelajaran etika
untuk anak-anak sekolah (untuk tingkat SD, SMP dan SMA) ?. Yang saya tahu ada mata
pelajararan PMP atau PPKN di sekolah.
Kaum Stoik dan Epicurean
Kaum
Stoik dan Epicurean berbeda pendapat dengan Aristoteles dalam satu hal penting,
yaitu bahwa manusia bijaksana menghindari atau mengabaikan korupsi dan
kompromi kehidupan politik. Ini karena mereka tidak merupakan warga negara
demokratik, melainkan individu terkucil yang hidup dibawah Kerajaan yang kaku
dan tidak jujur. Stoik, didirikan
oleh Zeno dari Citium (336-261 SM).
Stoik percaya “Hukum Alam”~suatu doktrin yang kemudian menjadi sangat penting
bagi kemajuan ilmu pengetahuan abad pertengahan. Pengikut terkenal mereka
adalah orang Romawi~di antaranya pejabat negara dan orator Cicero dan Kaisar
Marcus Aurelius. Stoik memandang kehidupan individu secara fatalis. Kaum Stoik
berpendapat nafsu manusia sering membuat manusia menjadi sangat tidak
rasional~suatu pandangan tentang watak manusia yang tampaknya disetujui Shakepeare.
Kaum Epicurean
Didirikan oleh Epicurus (341-270 SM), menyamakan kebahagiaan dengan kesenangan, sesuatu yang selalu dihindari dengan hati-hati oleh Aristoteles. Namun demikian, “kesenangan” bagi kaum Epicurean harus diraih dengan moderasi Aristoteles, dan timbul dalam berbagai bentuk: persahabatan dan diskusi filsafat, juga minuman anggur dan lagu. Mereka juga dikenal dengan sebutan “filosof kebun” karena mereka percaya kebahagiaan individu pribadi hanya dapat diraih dengan menghindar dari kehidupan politik masyarakat.
Machiavelli
Ketertarikan
pada hubungan antara moralitas dan negara berlanjut selama zaman Renaisans, dan
penulis terkenal pada topik ini adalah Niccolo
Machiavelli. Machiavelli (1469-1527) lahir di Florence,sebuah negara-kota
seperti Athena, yang diperintah dengan agak berbeda. Machiavelli lebih merupakan
seorang diplomat praktik daripada seorang filosof Karya terbesarnya. Sang Pangeran, merupakan salah satu
karya dalam Daftar Buku Terlarang Gereja Katolik.
Moralitas dan Kehidupan Umum
Sang Pangeran seolah-olah merupakan
buku ilmu politik, tetapi isinya tentang etika. Yang dikedepankan Machiavelli
adalah bahwa setiap penguasa yang baik membutuhkan virtu~sifat “maskulin” kemandirian, semangat, keteguhan hati, dan
seterusnya. Namun, untuk menjadi penguasa yang berhasil mau tak mau orang
terlibat dalam “amoralitas yang tak terelakkan”. Seorang pangeran harus
berdusta, berkhianat, menipu, mencuri, dan membunuh. “Seorang pangeran yang
ingin mempertahankan posisinya perlu belajar cara menjadi tidak baik...”
Selisih Pendapat tentang Buku Machiavelli
Membaca
bukunya Machiavelli selalu berselisih pendapat tentang buku itu. Satu pihak,
seperti Gereja Katolik, menganggapnya buku sesat, pihak lain menganggapnya sebagai
satire, pihak lain menganggapnya bukan buku moral atau amoral, melainkan sebuah
buku “teknis”. Seperti Hobbes, dia pesimis tentang watak manusia. Dia pikir,
penguasa memang mesti tidak bermoral.
Kontrak Sosial
Pemecahan
Hobbes adalah ide timbal-balik dalam bentuk legalisti, biasanya disebut “kontrak
sosial”. Hobbes berpendapat moralitas merupakan cara rasional untuk menghindari
konflik. Kalau tidak ada masyarakat, manusia hidup dalam “keadaan alam” yang
sepi, miskin, kotor, brutal, dan pendek. Agar “kontrak sosial” ini
diterapkan lebih jauh mereka juga membuat “Kontrak Pemerintah” dengan pihak
ketiga yang netral yang setuju melaksanakan kontrak pertama. Itulah mulanya
suatu masyarakat dan mengapa pemerintahan yang kuat dan tegas perlu
diadakan~untuk menyelamatkan kita dari akibat watak bawaan jahat kita sendiri.
Saling Membantu atau Sosiobiologi
Peter Kropotkin (1842-1921), seorang
filosof anarkis, dan ahli sosiobiologis terkemuka Edward O.Wilson (I. 1929). Percaya bahwa watak manusia dan
moralitas terpolarisasi secara radikal. Cukup dengan melihat ke lingkungan
sekitar, kita bisa mendapatkan belimpah bukti bahwa tindakan manusia bukanlah
didorong oleh keserakahan, dan bahwa manusia bukanlah makhluk polos yang sudah
tercemar. Banyak manusia yang memiliki motivasi nyata ke arah
persahabatan, kesetiaan, belas kasihan, kemurahan, dan simpati, tapi juga ke arah
keserakahan dan mementingkan diri sendiri. Alam memberikan bukti kerja sama
antara hewan dan tumbuhan. Demikianlah awal “ekosistem”, banyak spesies selain manusia yang hidup dalam kelompok harmonis dan berkembang biak dengan penuh
cinta dan kasih sayang, manusia itu “egois” sekaligus kooperatif. Kalau tidak
begitu, maka keluarga, suku, dan masyarakat tidak akan ada.
Marx dan Determinisme Ekonomi
Karl Marx (1818-83) sanagat menentang
pandanagan lemah watak manusia dari kaum anarkis. Dia menyebut itu tidak ilmiah
dan tidak revolusioner. Marx menyatakan sejarah sebagai serangkaian masa yang
dibedakan hanya oleh “mode produksi” ekonomi yang langsung membagi kelas-kelas
dan perjuangan yang tak terelakkan di antara mereka. Ideologi adalah kumpulan
sikap, nilai, dan keyakinan yang dipegang sejumlah orang. “Preposisi dasar”
pandangan Marx tentang ideologi adalah bahwa “makhluk sosial menentukan kesadaran”.
Dasar ekonomi masyarakat menentukan suprastruktur atau keyakinannya tentang
segala sesuatu seperti keluarga, agama, dan etika.
Utilitarianisme
Cara
radikal lain untuk melihat moralitas secara “objektif” adalah Utilitarianisme. Pelopor gerakan ini
merupakan dua orang genius. Jeremy
Bentham (1748-1832) bisa membaca bahasa Latin dan Yunani ketika berumur lima
tahun dan lulus dari Oxford saat usia 16 tahun. J.S. Mill (1806-73) berbicara bahasa Yunani dengan fasih ketika
berumur tiga tahun dan membantu ayahnya menulis tentang ilmu ekonomi ketika
berumur 14 tahu. Mereka berdua merupakan ahli empiris radikal. Pengetahuan bagi
mereka harus berasal dari indra bukan hanya ditemukan oleh akal pikiran.
Hukum Moral Kewajiban
Immanuel Kant (1724-1804) tidak
menyetujui pemikiran Utilitarianisme dan beranggapan tidak ada hubungan antara
moralitas dengan kebahagiaan. Kant lahir, menetap, bekerja dan wafat di
Konigsberg. Dia seorang akademisi profesional yang diberi dana belajar dan
mengajar filsafat. Dia memiliki tabiat yang demikian teratur sehingga orang
bisa mencocokan jam dengan mengawasi perjalanan hariannya melewati kota.
Akal Praktis
Kant
mulai dengan bertanya apa yang membedakan tindakan moral dengan yangamoral. Dia
menyimpulkan tindakan moral adalah tindakan yang dilaksanakan dari rasa akan kewajiban, bukan sekedar
mengikuti kehendak hati, oleh karena
itu, Kant sering dikenal sebagai Deontologis
atau orang yang percaya dengan kewajiban. Kant memulai dengan pernyataan tegas
bahwa manusia adalah makhluk rasional manusia mempunyai “Akal Teoretis” yang
membuat mereka sanggup memikirkan hal-hal seperti matematika dan logika. Mereka
juga mempunyai “Akal Praktis” yang melayani “itikad baik” mereka. “itikad baik”
adalah motif yang menghasilkan kebulatan tekad kita untuk menjadi manusia
baik, dan akal praktis membantu kita menuju arah itu.
Doktrin-doktrin Etika Diperbandingkan
Utilitarian
dan Deontologis selalu berselisih pendapat tentang bagaimana seharusnya suatu
etika. Sebagian orang menyatakan moralitas seharusnya pragmatis dan membawa
kebahagiaan dan kepuasan pribadi dalam kenyataan. Yang lain berpendapat moralitas
harus murni sekaligus “di atas” hasrat manusia. Jelasnya, lebih banyak
fleksibilitas yang ditawarkan Utilitarianisme, tetapi kaum Deontologis
melindungi moralitas dengan lebih berani dan menyikapi kewajiban “mengilas bali”
seperti membuat janji lebih serius. Kedua ajaran ini biasanya tiba pada tujuan
moral serupa, walaupun jalan menuju ke arah itu berbeda.
Agen Moral Posmodernis
Ciri
paling penting etika posmodern, sejauh menyangkut individu, adalah tiadanya nilai
moral universal yang dianut semua orang. Para filosof itu salah~tidak ada
kebenaran moral “translokal” yang objektif. Ini berarti akan lebih banyak
kebingungan dan ketidakpastian etika. Pilihan moral harus dibuat tanpa
penegasan landasan filosofis. Dengan demikian dunia posmodern akan memberikan
kebebasan dan tanggung jawab moral yang leih besar. Etika menjadi lebih eksistensialis dari pada sebelumnya.
Etika Sosial
Tujuan mulia
filsafatmoral dalam era posmodern berfokus pada usulan-usulan yang lebih
sederhana. Beberapa pertanyaan sebagai berikut : Mengapa kita sebagai individu
masih membutuhkan komunitas ?, Bagaimana cara mengatur komunitas supaya
menghasilkan kehidupan yang memuaskan bagi kita semua ?. Bagaimanapun juga,
kita makhluk sosial, bukan hanya produser, pemberi layanan jasa, dan konsumen.
Etika Lingkungan
Satu
persoalan moral unik dalam abad sekarang ini adalah hubungan manusia dengan
lingkungan alam. Pertanyaan ini timbul sebagai akibat ledakan populasi penduduk
belakangan ini dan pertumbuhan cepat masyarakat industri, pertama di Eropa dan sekarang
di Asia Tengah. Keduanya menimbulkan polusi pada planet bumi dalam skala yang
tak pernah terjadi sebelumnya. Manusia lebih perlu bersepakat tentang sikap
terhadap bumi, lebih daripada informasi ilmiah mengenai kerusakan yang telah
dibuat manusia. Manusia harus menemukan ideologi ekonomi, politik, dan budaya
alternatif yang berbeda dengan yang sekarang.
Etika Antroposentris
Sekarang
tidak ada yang mengetahui sevara pasti arti atau bentuk “etika lingkungan” itu.
Ajaran etika tradisional selalu bersifat sangat antroposentris. Yang kita
butuhkan adalah etika yang tidak terlalu humanis tetapi lebih “holistik”. Etika
itu harus mampu menengahi rangkaian kompleks fakta-fakta empiris dan
ideologi-ideologi manusia. Filsafat moral masa lalu banyak membantu manusia
sekarang.
Kesimpulan sementara
Etika
itu sulit dan mungkin akan selalu sulit. Etika bisa saja diturunkan dari fitrah
manusia~sekalipoun itu hanyalah fiksi. Biasanya diupayakan agar etika menjadi
objektif dan universal. Ketika bukti telah jelas, ada ragam keyakinan berbeda
tentang bagaimana kita sebaiknya bersikap terhadap manusia. Doktrin etika lama
sudah mati dan tida kada lagi. Sebagian filosof masih beranggapan moralitas
berkenaan dengan menghasilkan dan membagi samarata kebahagiaan. Dan
Utilitarianisme masih tampak sebagai sistem yang membantu menganalisis dan
mengevaluasi (jika tidak memecahkan) masalah moral praktis yang kompleks. Sebagian
spesies kita telah dan akan selalu inventif, kreatif, dan senang berpetualang.
Walaupun sudah ada microwave dan komputer, kita
ternyata masih berada pada tahap primitif perkembangan moral, baik disadari
maupun tidak. Posmodernime mungkin sudah menghancurkan kepastian etika, namun
penghancuran ini dapat membantu kita membuat moral berkembang. Apabila kita bisa
menghadapi kenyataan bahwa kita hanyalah manusia dengan daya tangkap “pengetahuan”
terbatas, yang kita dapatkan lewat peralatan persepsi dan konsepsi manusiawi,
mungkin ada harapan untuk kita. Kita tidak akan pernah meraih kepastian etik.
Tetapi sebagian orang mungkin pernah mendengan kata “kode etik”. Namun kita
dapat menjadi lebih waspada secara moral. Jika sebagian spesies kita tidak
bisa, maka kita tidak akan pernah berhasil. Etika masih merupakan sesuatu yang
bermanfaat untuk ditelusuri .
Demikianlah
postingan untuk saat ini, semoga bermanfaat.
Sumber : Wikipedia; Etika
For Beginners