22/10/17

Etika dan moral yang menjadi bahan pemikiran dari zaman ke zaman



Mencakup pengertian, kondisi dilematis, pendapat para pemikir dan filsuf terkenal, hingga bahan yang dipelajari akademisi hingga kini.



Pengertian Etika


     Etika berasal dari  Yunani kuno “ethikos”, yang berarti “timbul dari kebiasaan", adalah sebuah sesuatu dimana dan bagaimana cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai  standar dan penilaian moral. Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk dan tanggung jawab (Ensiklopedi bebas). Etika telah menjadi isu hangat dalam pemikiran filsafat moral dewasa ini. Hal itu karena etika mengangkat masalah tanggung jawab di masa ketika tanggung jawab seakan-akan telah digantikan sepenuhnya oleh ketidakpastian dan relativisme. Etika filosofis secara harfiah dapat dikatakan sebagai etika yang berasal dari kegiatan berfilsafat atau berpikir, yang dilakukan oleh manusia. Karena itu, etika sebenarnya adalah bagian dari filsafat; dan etika lahir dari filsafat. Etika termasuk dalam filsafat, karena itu berbicara etika tidak dapat dilepaskan dari filsafat [butuh rujukan]. Karena itu, bila ingin mengetahui unsur-unsur etika maka kita harus bertanya juga mengenai unsur-unsur filsafat.



    Pada kesempatan ini yang akan dibahas adalah dilema-dilema politik etika dan kecemasan eksistensial manusia. Terdapat argumen-argumen para pemikir moral besar seperti Socrates, Plato, Aristoteles, Hobbes, Kant, dan lain-lain. Menurut Aristoteles, fungsi utama suatu negara adalah untuk memungkinkan suatu kelompok manusia melakukan pembahasan-pembahasan filsafat dan pada akhirnya sepakat dengan suatu kode etik bersama. Menurut Socrates setelah terbentuknya masyarakat dan bernegara, kita harus mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang moral. Negara bisa saja memutuskan apa yang benar dan salah menurut hukum, tetapi hukum dan moralitas tidak sama.
   Filosof individualis maupun komunitarian enggan mendefinisikan etika sebagai sekadar “aturan main organisasi” yang disepakati dan dirumuskan oleh anggota-anggotanya. Keduanya ingin mengesahkan etika komunal atau perlunya moralitas individual dengan mengajukan semacam gagasan yang netral.
10 pertanyaan utama ; para filosof mengajukan beberapa pertanyaan yang ganjil dan aneh. Pertanyaan-pertanyaan ini penting walaupun jawaban-jawaban jelas dan positif yang tersedia sangat sedikit.
- Apakah ada perbedaan antara hukum moral dan hukum masyarakat ?. Jika ada, mengapa ?
- Seperti apakah manusia itu pada dasarnya egois dan serakah atau pemurah dan ramah?
- Apakah sebagian orang "lebih baik" dalam moralitas daripada yang lain, atau apakah setiap orang sama-sama mampu berbuat baik ?
- Adakah cara yang baik untuk mendidik anak agar mereka bermoral ?
-  Apakah setiap orang berhak memberitahu orang lain arti kebaikan dan kejahatan ?
- Adakah jenis-jenis tindakan tertentu (seperti menyiksa anak) yang selalu salah ? Jika ada, apakah itu ? 
- Jawaban apakah yang paling baik menurut Anda untuk pertanyaan : “Mengapa saya harus menjadi orang yang baik ?”
-  Apakah etika merupakan suatu cabang pengetahuan khusus ? Jika ya, pengetahuan macam apakah itu dan bagaimana kita bisa memahaminya ?
Apakah moralitas berarti mematuhi sekumpulan aturan atau menyangkut pemikiran
yang saksama mengenai akibat-akibatnya suatu tindakan ?
- Ketika manusia berkata “Saya tahu membunuh itu salah” apakah mereka tahu itu salah atau hanya sangat percaya dengan pernyataan demikian ?
     

       Rasanya tak ada suatu masyarakat yang para anggotanya beranggapan bahwa membunuh sesama dapat diterima. Walaupun kadang terjadi pembunuhan berantai di masyarakat, sebagian besar kita tetap menganggapnya sebagai suatu penyimpangan, atau bahkan “tidak manusiawi”. Selalu ada peraturan-peraturan mengenai kapan manusia boleh membunuh manusia lain, biasanya orang luar yang ditentang orang dalam. Pemahaman moral semacam ini sering ditentukan dan diatur oleh berbagai jenis larangan hukum dan agama. Tampaknya manusia enggan menerima kenyataan bahwa moralitas adalah sesuatu yang ditemukan oleh manusia sendiri dan dengan demikian cenderung membenarkan peraturan moral dengan memitologikan asal-muasalnya: “Orang-orang tua dulu bilang duduk di pintu itu salah”. “Cerita tentang etika kadang-kadang berupa gambaran usaha untuk membenarkan moralitas semacam ini.

Moralitas dan Agama
     Sebagian besar orang yang hidup dalam lingkungan Kristen Eropa beranggapan bahwa mereka mendasarkan kepercayaan etis dan tingkah laku mereka pada Sepuluh Perintah Tuhan, firman Tuhan kepada Nabi Musa (Dari kesepuluh perintah itu, kira-kira hanya enam yang menyangkut etika, sisanya lebih mengacu pada upacara dan ritual keagamaan). Apakah agama merupakan moralitas ?. Apakah bermoral adalah masalah mematuhi perintah perintah Tuhan ? Individu yang berpikiran independen, seperti Socrates (dalam Euthyphro karya Plato), berkata bahwa moralitas lebih dari sekadar kepatuhan pada agama. Satu alasan untuk ini adalah perintah agama bervariasi dari satu agama ke agama lain. Kaum ateis dan agnostik menolak mematuhi perintah apapun dari Tuhan yang mereka anggap salah. Agama semata tampaknya tidak cukup memuaskan untuk menjadi landasan etika manusia. Yang dicari para filosof adalah jalan untuk menjustifikasi  nilai-nilai moral yang terlepas dari keyakinan agama.

Moralitas dan Fitrah Manusia
    Satu jawaban alternatif adalah mengatakan bahwa moralitas datang bukan dari sumber supernatural di luar, melainkan dari dalam diri kita sendiri. Hal ini merupakan salah satu pertanyaan besar sepanjang zaman. Pemikiran tentang etika sering dimulai dengan asumsi mengenai fitrah manusia, baik negatif maupun positif. Misalnya, pengertian Kristen tentang “dosa asal” memberikan pandangan bahwa fitrah kita pada dasarnya buruk. Jika ini masalahnya, lingkungan sosial dan sanksi-sanksi resmi kitalah yang memaksa kita jadi bermoral. Namun kebanyakan kita tidak menyiksa anak kecil hanya karena takut ditangkap polisi.Walaupun DNA memiliki sedikit pengaruh atau tidak sama sekali pada watak moral kita, mungkin kita memang hasil lingkungan sosial dan budaya. Pada saat lahir, kita merupakan selembar kertas kosong yang secara bertahap ditulis oleh orangtua, guru, kelompok umur, media, dan semua kekuatan ideologis lainnya. Pengaruh sistem masyarakat pada kepribadian moral kita pada dasarnya lebih kuat daripada turunan genetik apapun dan nyaris bertanggung jawab penuh atas apa pun yang menjadikan kita manusiawi dan bermoral.

Absolutisme Etika
      Bila ada banyak kepercayaan moral yang berseliweran di sekitar kita, yang mana yang benar ?. Bagaimana dapat kita buktikan kalau kepercayaan seseorang itu benar da yang lain salah ?. Kebanyakan kaum relatif akan berkomentar tidak ada jalan yang memungkinkan untuk memutuskan apapun, dan tidak ada sama sekali hal-hal seperti “pengetahuan” moral. Skeptisisme semacam ini membuat khawatir para filosof lain yang beranggapan pasti ada suatu aturan moral bersama yang selalu benar. Para filosof ini sering disebut kaum “Universalis”,
Realis”, atau “Absolutis”. Ketiganya akan mengatakan nahwa mengorbankan bayi itu salah,apa punjenis kepercayaan budaya yang mendorong atau mengizinkan praktik ini. Absolutisme etika berbahaya karena bisa melegitimasi satu budaya kuat untuk memaksakan nilai-nilai moral lokal miliknya pada semua budaya lain, dengan mengklaim monopoli “kebenaran” moral. Bangsa Eropa juga telah menjadi saksi,dan penyebab, kehancuran ratusan budaya unik beserta kepercayaan moral mereka. Sekarang kita mencoba cara-cara yang kurang memadai untuk melindungi budaya suku “polos” dan “primitif” dan merasa sangat malu ketika mendengar usaha pembinasaan mereka. Saat ini sebagian besar kaum liberal dan akademis Eropa tidak mau mencampuri kepercayaan moral dan adat istiadat budaya lain. Kaum Absolutis mengatakan ada suatu “pengetahuan moral” yang nyata. Ada kepercayaan moral yang “benar” dan ada yang “salah”, hanya saja kita belum dapat mengetahui dengan tepat bagaimana membuktikan keduanya.


 


  Tiga filsuf kuno  Plato, Socrates, dan Aristoteles 

Metoda Socrates
     Socrates tidak pernah dogmatis atau otoriter. Bagi kaum muda, dia tampak seperti guru. Socrates meyakini bahwa yang terpenting bagi manusia adalah bertanya. Pengetahuan moral yang nyata menurutnya mutlak ada dan perlu diraih. Menurutnya, “kehidupan yang tidak diperiksa adalah kehidupan yang tidak layak dijalani”. Gagasan ini cukup menganggu. Pertanyaan mengenai kehidupan moral sangat dihindari oleh kebanyakan orang dewasa~mereka lebih suka mencari uang dan terbenam dalam kehidupan rutinnya. Socrates biasanya mulai dengan membingungkan orang dengan pertanyaa “Apakah kelakuan baik itu?”, atau “Apakah negara itu ?”, lambat laun ia menyingkap betapa sedikitnya yang diketahui masyarakat tentang moralitas atau politik. Ditekankan olehnya bahwa orang yang bijak adalah “orang yang tahu kalau dia tidak tahu apa-apa”. Socrates menyempurnakan metode pencarian yang dibanggakan kaum filosof masa kini. Bagi kaum muda, dia tampak seperti seorang guru. Socrates meyakini bahwa yang terpenting bagi manusia adalah bertanya. Pengetahuan moral yang nyata menurutnya mutlak ada dan perlu diraih. Menurutnya, “kehidupan yang tida diperiksa adalah kehidupan yang tidak layak dijalani”. Socrates biasanya mulai dengan membingungkan orang dengan pertanyaan “Apakah kelakuan baik itu ?”, atau “Apakah negara itu ?”, lambat laun ia menyingkap betapa sedikitnya yang diketahui masyarakat tentang moralitas atau politik. Ditekankan olehnya bahwa orang yang bijak adalah “orang yang tidak tahu kalau dia tidak tahu apa-apa”. Socrates menyempurnakan metode pencarian yang dibanggakan kaum filosof masa kini.



Etika Socrates : Kenali Dirimu Sendiri
     Socrates memiliki beberapa kepercayaan moral. Seperti kebanyakan orang Yunani, ia menganggap menusia seperti layaknya benda buatan yang mempunyai tujuan atau fungsi (disebut pandangan teleologis). Kita telah diprogram sebelumnya dengan suatu “perangkat lunak”. Tugas kitalah menemukan kode-kode itu dan melaksanakannya dengan tepat. Moralitas bukan sekedar mematuhi hukum, melainkan sesuatu yang lebih spiritual. Begitu kita mengetahui  siapa diri kita, kita akan mengetahui bagaimana sebaiknya bersikap.

Republik Plato
    Murid Socrates yang paling terkenal adalah seorang aristokrat muda bernama Plato (428-354 SM) yang tidak pernah memaafkan kaum demokrat Athena yang telah membunuh gurunya. Demokrasi menurut Plato berarti kericuhan dan berkuasanya sekelompok mafia ganas dan berdarah dingin yang mudah diperalat oleh para politikus.

Plato versus Kaum Sofis
   Plato mengangkat pertanyaan-pertanyaan politis dan moral tentang “negara”~mengapa menjadi warga negara adalah sesuatu yang tidak terelakkan, sama halnya dengan bernapas, mengapa diperlukan kesetiaan pada negara, mengapa harus mematuhi hukum, dan mengapa itu baik ?, Republic dibuka dengan dialog yang mencerminkan pandangan Socrates~sejumlah kaum Sofis dibiarkan mengemukakan pandangan mereka tentang hukum dan moralitas. Plato adalah seorang yang percaya akan dua dunia. Ia percaya adanya dunia materi yang jahat (fana) dan dunia lain yang lenih murni. Yang dikatakan Plato tentang pengetahuan kita mengetahui dua dunia ini sesuai dengan apa yang diyakininya tentang moralitas dan ilmu politik. Menurutnya, ada dua jenis pengetahuan: pengetahuan empiris (yang dicapai melalui indra) dan pengetahuan lain yang dicapai melalui akal. Jenis kedua ini bersifat tetap dan abadi. Sesungguhnya tiap manusia dapat mencapai pengetahuan empiris karena kebanyakan manusia memunyai lima indra. Hanya sedikit pakar yang mendapatkan pengetahuan “nyata”, karena memerlukan kemampuan dan latihan khusus untuk “melihat” secara batiniah. Plato adalah seorang rasionalis ~ seorang filosof yang percaya bahwa pengetahuan nyata berasal dari akal. Menurutnya: Dunia fisik yang kita alami tiap hari merupakan bayang-bayang “setengah nyata”: pengetahuan tentang dunia hanya “pendapat” tingkat tiga. Salah satu sumber kepercayaan ini adalah matematika. Semua kaum cendekiawan Yunani terkagum-kagum pada pesona, ketetapan, dan kemurnian matematika. Bilangan tidak terdapat dalam dunia nyata, melainkan di dalam kepala dan tempat lain yang abstrak dan mungkin spiritual. Plato berpendapat semua pengetahuan mungkin saja permanen dan tidak berubah seperti ilmu matematika. 


Dunia Bentuk
     Menurut Plato, dunia indra keseharian diungguli oleh suatu dunia “bentuk” yang luar biasa dan menakjubkan. Kesimpulan politis untuk semua ini adalah bahwa pengetahuan mutlak sempurna adalah sesuatu yang hanya dimiliki sedikit individu. Mereka menurut Plato, harus dijadikan panutan oleh orang lain. ”Para pengawal” ini akan selalu tahu jawaban yang tepat bagi setiap masalah dan apa yang harus dilakukan.

Masyarakat Tertutup
    Plato adalah seorang absolutis moral yang meyakini bahwa pengetahuan moral “dokodifikasi” di jagad raya. Sejumlah ahli matematika berpendapat bilangan juga demikian. Akan tetapi, adakah “fakta” moral, sebagaimana ada fakta jerapah atau segitiga ?. Absolutisme etik seperti mengasumsikan model birokratis tentang bagaimana seharusnya suatu moralitas~pengetahuan yang hanya dipahami oleh para pakar. Plato berasumsi bahwa moralitas individu dan moralitas negara adalah sama. Hal ini bisa menuju ke araj tirani represif yang diatur oleh kaum “elite” yang menilai manusia hanya dari besarnya sumbangan mereka kepada negara. Banyak orang pada abad ini mengalami peristiwa yang tidak menyenangkan dari masyarakat tertutup yang diatur oleh sekelompok kaum elite yang terus menerus mewenangkan diri sendiri sebagai sebuah kebenaran monolitik terpusat.

Aristoteles dan Etika Akal Sehat
     Aristoteles (382-322 SM) adalah murid Plato. Dia berasal dari Yunani Utara. Aristoteles menjadi guru pribadi Kaisar Aleksander Agung dan akhirnya mendirikan universitas sendiri~Lyceum. Dia setuju dengan Plato bahwa manusia sebenarnya adalah makhluk sosial. Sebaiknya diatur dalam negara. Namun, menyangkut moralitas, Aristoteles lebih pragmatis. Menurutnya : Etika adalah masalah mendasar yang harus ditentukan oleh manusia biasa berakal praktis, bukan oleh “ahli” pertapa yang akalnya bersemayam di dunia yang jauh. Aristoteles lebih tertarik pada apa yang dipikirkan orang biasa tentang moralitas sehari-hari.

Pandangan Teleologis dan Jalan Tengah
     Dalam Etika Nichomachean, Aristoteles menekankan bahwa ia tidak tertarik pada abstraksi jauh seperti “Kebajikan dalam dirinya sendiri”. Dia lebih tertarik pada kebajikan yang dilakukan kebanyakan orang dalam kehidupan keseharian mereka. Menurutnya : Segala sesuatu mengarah pada satu tujuan untuk masing-masing. Sama seperti sebilah pisau yang dimaksudkan untuk memotong dengan baik, manusia merasa puas dan bahagia jika mereka berfungsi dengan baik. Seolah-olah manusia sudah diprogram oleh “perangkat lunak moral” berisi keadilan, kejujuran, kesederhanaan, dorongan, dan seterusnya, namun terserah pada manusia untuk merealisasikan potensi penuhnya. Orang-orang berakal sehat melakukannya dengan memilih “jalan tengah” di  antara yang ekstrim. Sebagai manusia yang baik, kita seharusnya menjadi berani, bukan menjadi ceroboh dan lemah. Aristoteles juga dengan gamblang menyatakan tentang tanggung jawab moral~jika kamu memilih melakukan sesuatu yang salah, maka kamu harus dihukum karenanya.





Universitas Lyceum  
  


Orang yang Baik tapi Membosankan
     Sosok ideal Aristoteles adalah seorang lelaki warga Athena setengah baya pengguna akal sehat yang tenang dan rasional, menghindari hal-hal ekstrem, dan paham bagaimana bertindak berdasarkan pengalaman. Ia secara psikologis akan puas terhadap diri sendiri. Kita menjadi bermoral secra psikologis akan puas terhadp diri sendiri. Kita menjadi bermoral dengan melatih diri melakukannya, seperti halnya belajar piano dengan berlatih. Pada awalnya, orangtua dan guru mendorong kita bermoral, tetapi setelah beberapa lama kita menjadi orang bermoral secara instinktif. Pertanyaannya, apakah pada jaman sekarang diajarkan pelajaran etika untuk anak-anak sekolah (untuk tingkat SD, SMP dan SMA) ?. Yang saya tahu ada mata pelajararan PMP atau PPKN di sekolah.

Kaum Stoik dan Epicurean
     Kaum Stoik dan Epicurean berbeda pendapat dengan Aristoteles dalam satu hal penting, yaitu bahwa manusia bijaksana menghindari atau mengabaikan korupsi dan kompromi kehidupan politik. Ini karena mereka tidak merupakan warga negara demokratik, melainkan individu terkucil yang hidup dibawah Kerajaan yang kaku dan tidak jujur. Stoik, didirikan oleh Zeno dari Citium (336-261 SM). Stoik percaya “Hukum Alam”~suatu doktrin yang kemudian menjadi sangat penting bagi kemajuan ilmu pengetahuan abad pertengahan. Pengikut terkenal mereka adalah orang Romawi~di antaranya pejabat negara dan orator Cicero dan Kaisar Marcus Aurelius. Stoik memandang kehidupan individu secara fatalis. Kaum Stoik berpendapat nafsu manusia sering membuat manusia menjadi sangat tidak rasional~suatu pandangan tentang watak manusia yang tampaknya disetujui Shakepeare.



Kaum Epicurean
    Didirikan oleh Epicurus (341-270 SM), menyamakan kebahagiaan dengan kesenangan, sesuatu yang selalu dihindari dengan hati-hati oleh Aristoteles. Namun demikian, “kesenangan” bagi kaum Epicurean harus diraih dengan moderasi Aristoteles, dan timbul dalam berbagai bentuk: persahabatan dan diskusi filsafat, juga minuman anggur dan lagu. Mereka juga dikenal dengan sebutan “filosof kebun” karena mereka percaya kebahagiaan individu pribadi hanya dapat diraih dengan menghindar dari kehidupan politik masyarakat.

Machiavelli
     Ketertarikan pada hubungan antara moralitas dan negara berlanjut selama zaman Renaisans, dan penulis terkenal pada topik ini adalah Niccolo Machiavelli. Machiavelli (1469-1527) lahir di Florence,sebuah negara-kota seperti Athena, yang diperintah dengan agak berbeda. Machiavelli lebih merupakan seorang diplomat praktik daripada seorang filosof Karya terbesarnya. Sang Pangeran, merupakan salah satu karya dalam Daftar Buku Terlarang Gereja Katolik.

Moralitas dan Kehidupan Umum
    Sang Pangeran seolah-olah merupakan buku ilmu politik, tetapi isinya tentang etika. Yang dikedepankan Machiavelli adalah bahwa setiap penguasa yang baik membutuhkan virtu~sifat “maskulin” kemandirian, semangat, keteguhan hati, dan seterusnya. Namun, untuk menjadi penguasa yang berhasil mau tak mau orang terlibat dalam “amoralitas yang tak terelakkan”. Seorang pangeran harus berdusta, berkhianat, menipu, mencuri, dan membunuh. “Seorang pangeran yang ingin mempertahankan posisinya perlu belajar cara menjadi tidak baik...”

Selisih Pendapat tentang Buku Machiavelli
    Membaca bukunya Machiavelli selalu berselisih pendapat tentang buku itu. Satu pihak, seperti Gereja Katolik, menganggapnya buku sesat, pihak lain menganggapnya sebagai satire, pihak lain menganggapnya bukan buku moral atau amoral, melainkan sebuah buku “teknis”. Seperti Hobbes, dia pesimis tentang watak manusia. Dia pikir, penguasa memang mesti tidak bermoral.

Kontrak Sosial
    Pemecahan Hobbes adalah ide timbal-balik dalam bentuk legalisti, biasanya disebut “kontrak sosial”. Hobbes berpendapat moralitas merupakan cara rasional untuk menghindari konflik. Kalau tidak ada masyarakat, manusia hidup dalam “keadaan alam” yang sepi, miskin, kotor, brutal, dan pendek. Agar “kontrak sosial” ini diterapkan lebih jauh mereka juga membuat “Kontrak Pemerintah” dengan pihak ketiga yang netral yang setuju melaksanakan kontrak pertama. Itulah mulanya suatu masyarakat dan mengapa pemerintahan yang kuat dan tegas perlu diadakan~untuk menyelamatkan kita dari akibat watak bawaan jahat kita sendiri.

Saling Membantu atau Sosiobiologi
     Peter Kropotkin (1842-1921), seorang filosof anarkis, dan ahli sosiobiologis terkemuka Edward O.Wilson (I. 1929). Percaya bahwa watak manusia dan moralitas terpolarisasi secara radikal. Cukup dengan melihat ke lingkungan sekitar, kita bisa mendapatkan belimpah bukti bahwa tindakan manusia bukanlah didorong oleh keserakahan, dan bahwa manusia bukanlah makhluk polos yang sudah tercemar. Banyak manusia yang memiliki motivasi nyata ke arah persahabatan, kesetiaan, belas kasihan, kemurahan, dan simpati, tapi juga ke arah keserakahan dan mementingkan diri sendiri. Alam memberikan bukti kerja sama antara hewan dan tumbuhan. Demikianlah awal “ekosistem”, banyak spesies selain manusia yang hidup dalam kelompok harmonis dan berkembang biak dengan penuh cinta dan kasih sayang, manusia itu “egois” sekaligus kooperatif. Kalau tidak begitu, maka keluarga, suku, dan masyarakat tidak akan ada.
Marx dan Determinisme Ekonomi
      Karl Marx (1818-83) sanagat menentang pandanagan lemah watak manusia dari kaum anarkis. Dia menyebut itu tidak ilmiah dan tidak revolusioner. Marx menyatakan sejarah sebagai serangkaian masa yang dibedakan hanya oleh “mode produksi” ekonomi yang langsung membagi kelas-kelas dan perjuangan yang tak terelakkan di antara mereka. Ideologi adalah kumpulan sikap, nilai, dan keyakinan yang dipegang sejumlah orang. “Preposisi dasar” pandangan Marx tentang ideologi adalah bahwa “makhluk sosial menentukan kesadaran”. Dasar ekonomi masyarakat menentukan suprastruktur atau keyakinannya tentang segala sesuatu seperti keluarga, agama, dan etika.

Utilitarianisme
    Cara radikal lain untuk melihat moralitas secara “objektif” adalah Utilitarianisme. Pelopor gerakan ini merupakan dua orang genius. Jeremy Bentham (1748-1832) bisa membaca bahasa Latin dan Yunani ketika berumur lima tahun dan lulus dari Oxford saat usia 16 tahun. J.S. Mill (1806-73) berbicara bahasa Yunani dengan fasih ketika berumur tiga tahun dan membantu ayahnya menulis tentang ilmu ekonomi ketika berumur 14 tahu. Mereka berdua merupakan ahli empiris radikal. Pengetahuan bagi mereka harus berasal dari indra bukan hanya ditemukan oleh akal pikiran.

Hukum Moral Kewajiban
    Immanuel Kant (1724-1804) tidak menyetujui pemikiran Utilitarianisme dan beranggapan tidak ada hubungan antara moralitas dengan kebahagiaan. Kant lahir, menetap, bekerja dan wafat di Konigsberg. Dia seorang akademisi profesional yang diberi dana belajar dan mengajar filsafat. Dia memiliki tabiat yang demikian teratur sehingga orang bisa mencocokan jam dengan mengawasi perjalanan hariannya melewati kota.

Akal Praktis
    Kant mulai dengan bertanya apa yang membedakan tindakan moral dengan yangamoral. Dia menyimpulkan tindakan moral adalah tindakan yang dilaksanakan dari rasa akan kewajiban, bukan sekedar mengikuti kehendak hati, oleh karena itu, Kant sering dikenal sebagai Deontologis atau orang yang percaya dengan kewajiban. Kant memulai dengan pernyataan tegas bahwa manusia adalah makhluk rasional manusia mempunyai “Akal Teoretis” yang membuat mereka sanggup memikirkan hal-hal seperti matematika dan logika. Mereka juga mempunyai “Akal Praktis” yang melayani “itikad baik” mereka. “itikad baik” adalah motif yang menghasilkan kebulatan tekad kita untuk menjadi manusia baik, dan akal praktis membantu kita menuju arah itu.

Doktrin-doktrin Etika Diperbandingkan
    Utilitarian dan Deontologis selalu berselisih pendapat tentang bagaimana seharusnya suatu etika. Sebagian orang menyatakan moralitas seharusnya pragmatis dan membawa kebahagiaan dan kepuasan pribadi dalam kenyataan. Yang lain berpendapat moralitas harus murni sekaligus “di atas” hasrat manusia. Jelasnya, lebih banyak fleksibilitas yang ditawarkan Utilitarianisme, tetapi kaum Deontologis melindungi moralitas dengan lebih berani dan menyikapi kewajiban “mengilas bali” seperti membuat janji lebih serius. Kedua ajaran ini biasanya tiba pada tujuan moral serupa, walaupun jalan menuju ke arah itu berbeda.

Agen Moral Posmodernis
    Ciri paling penting etika posmodern, sejauh menyangkut individu, adalah tiadanya nilai moral universal yang dianut semua orang. Para filosof itu salah~tidak ada kebenaran moral “translokal” yang objektif. Ini berarti akan lebih banyak kebingungan dan ketidakpastian etika. Pilihan moral harus dibuat tanpa penegasan landasan filosofis. Dengan demikian dunia posmodern akan memberikan kebebasan dan tanggung jawab moral yang leih besar. Etika menjadi lebih eksistensialis dari pada sebelumnya.

Etika Sosial
   Tujuan mulia filsafatmoral dalam era posmodern berfokus pada usulan-usulan yang lebih sederhana. Beberapa pertanyaan sebagai berikut : Mengapa kita sebagai individu masih membutuhkan komunitas ?, Bagaimana cara mengatur komunitas supaya menghasilkan kehidupan yang memuaskan bagi kita semua ?. Bagaimanapun juga, kita makhluk sosial, bukan hanya produser, pemberi layanan jasa, dan konsumen.

Etika Lingkungan
     Satu persoalan moral unik dalam abad sekarang ini adalah hubungan manusia dengan lingkungan alam. Pertanyaan ini timbul sebagai akibat ledakan populasi penduduk belakangan ini dan pertumbuhan cepat masyarakat industri, pertama di Eropa dan sekarang di Asia Tengah. Keduanya menimbulkan polusi pada planet bumi dalam skala yang tak pernah terjadi sebelumnya. Manusia lebih perlu bersepakat tentang sikap terhadap bumi, lebih daripada informasi ilmiah mengenai kerusakan yang telah dibuat manusia. Manusia harus menemukan ideologi ekonomi, politik, dan budaya alternatif yang berbeda dengan yang sekarang.

Etika Antroposentris
    Sekarang tidak ada yang mengetahui sevara pasti arti atau bentuk “etika lingkungan” itu. Ajaran etika tradisional selalu bersifat sangat antroposentris. Yang kita butuhkan adalah etika yang tidak terlalu humanis tetapi lebih “holistik”. Etika itu harus mampu menengahi rangkaian kompleks fakta-fakta empiris dan ideologi-ideologi manusia. Filsafat moral masa lalu banyak membantu manusia sekarang.

Kesimpulan sementara
   Etika itu sulit dan mungkin akan selalu sulit. Etika bisa saja diturunkan dari fitrah manusia~sekalipoun itu hanyalah fiksi. Biasanya diupayakan agar etika menjadi objektif dan universal. Ketika bukti telah jelas, ada ragam keyakinan berbeda tentang bagaimana kita sebaiknya bersikap terhadap manusia. Doktrin etika lama sudah mati dan tida kada lagi. Sebagian filosof masih beranggapan moralitas berkenaan dengan menghasilkan dan membagi samarata kebahagiaan. Dan Utilitarianisme masih tampak sebagai sistem yang membantu menganalisis dan mengevaluasi (jika tidak memecahkan) masalah moral praktis yang kompleks. Sebagian spesies kita telah dan akan selalu inventif, kreatif, dan senang berpetualang. Walaupun sudah ada microwave dan komputer, kita ternyata masih berada pada tahap primitif perkembangan moral, baik disadari maupun tidak. Posmodernime mungkin sudah menghancurkan kepastian etika, namun penghancuran ini dapat membantu kita membuat moral berkembang. Apabila kita bisa menghadapi kenyataan bahwa kita hanyalah manusia dengan daya tangkap “pengetahuan” terbatas, yang kita dapatkan lewat peralatan persepsi dan konsepsi manusiawi, mungkin ada harapan untuk kita. Kita tidak akan pernah meraih kepastian etik. Tetapi sebagian orang mungkin pernah mendengan kata “kode etik”. Namun kita dapat menjadi lebih waspada secara moral. Jika sebagian spesies kita tidak bisa, maka kita tidak akan pernah berhasil. Etika masih merupakan sesuatu yang bermanfaat untuk ditelusuri . 

   Demikianlah postingan untuk saat ini, semoga bermanfaat.













      
Sumber : Wikipedia; Etika For Beginners