20/11/17

Politik dan kekuasaan menurut ajaran Machiavelli, serta pendapat beberapa tokoh lainnya



   Sebenarnya banyak pengertian mengenai politik, tetapi disini saya artikan definisi tentang politik : Politik (dari bahasa Yunani : politikos, yang berarti dari, untuk, atau yang berkaitan dengan warga negara), adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik. Pengertian lainnya; Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional. Terlanjur dipakai untuk segala pikiran, sikap, dan tindakan kotor serta kejam dalam politik.

Kemashuran yang salah kaprah
      Niccolo Machiavelli selama hampir 500 tahun dianggap sama jahat dan kejamnya dengan Mephistopeles, raja segala setan dalam legenda Faust. Namanya sampai diabadikan dalam kamus berupa kata sifat machiavellian. Sifat ini mencakup pikiran, sikap, dan tindakan licik yang kejam, penuh tipu daya, dan tak kenal kasihan. Ajarannya dianggap mengesampingkan segala nilai moral, atau dikenal sebagai “tujuan menghalalkan segala cara”. Namun, kemashuran ini betul-betul salah kaprah. Yang bersifat machiavellian sebenarnya bukan Niccolo Machiavelli sendiri, melainkan para penguasa yang ditelitinya. Pada 1559, 32 tahun setelah Mavhiavelli wafat, pembesar gereja memasukkan Il Principe dalam daftar buku terlarang yang dikenal sebagai Tridentine Index.




       Banyak tokoh yang mencela Machiavelli dan karya-karyanya. Menurut Leo Strauss : “Ajaran yang tidak bermoral. Machiavelli memang seorang pemikir titisan setan”. Pemahaman tentang Il Principe semakin salah kaprah, terutama karena buku itu terlanjur dianggap sebagai buku pegangan setengah resmi para diktator terkemuka dunia seperti: Hitler, Stalin, Lenin dan Mussolini.
     Menurut Francis Bacon (filsuf, pengacara, dan ahli bahasa) : Machiavelli mengemukakan tanpa tedeng aling-aling apa yang benar-benar dilakukan oleh para penguasa, bukan yang seharusnya mereka lakukan. Hal itu hanya mungkin dilakukan jika para penguasa memahami hakikat kejahatan serta mampu memadukan kecerdikan ular dan ketulusan merpati. Tanpa paduan tersebut, keutamaan (virtue) hanyalah akan membuka kebohongan, tetapi tak mampu memberikan perlindungan.
   Menurut Van Ranke (1795-1886), sejarawan terkemuka Jerman : Setelah membaca bab terakhir Il Principe apa yang Machiavelli anjurkan dalam buku tersebut didorong oleh tekad mencapai persatuan Italia daripada sekedar mengabaikan nilai-nilai moral.
   Pengaruh gerakan Renaissance segera menyebar dengan cepat ke Italia Utara, lalu ke seluruh daratan Eropa, terlebih setelah Akademi Plato didirikan oleh Lorenzo Sang Cemerlang (1449-1492), pertengahan abad 15. Akademi ini kemudian berkembang menjadi pusat studi pemikiran Yunani dan Romawi klasik paling penting saat itu, dan jadi tempat belajar para sarjana seluruh Eropa.

   Ketika Firenze mencapai puncak kemakmuran, Niccolo Machiavelli lahir pada 3 Mei 1469. Ayahnya, Bernardo Machiavelli adalah seorang pengacara keturunan bangsawan. Bernardo banyak bergaul dengan para pemikir humanis di Firenze dan mengoleksi karya para tokoh klasik aliran itu seperti, Titus Livius, Cicero, Boccacio hingga Petrarch. Sejak usia 12 tahun, Niccolo Machiavelli dididik oleh salah seorang sahabat ayahnya, Paolo da Ronciglione, tokoh pemikir humanis di Firenze. Setelah itu ia dikirim ke Universitas Firenze untuk menyelesaikan studinya.  Suasana tenang dan damai di Firenze ternyata tidak bertahan lama. Sejak 1489, Girolamo Savonarola, biarawan Ordo Dominican, mulai memimpin gerakan perlawanan. Gerakan ini dengan keras mengecam pemerintahan “tangan besi” Lorenzo II Magnifico. Savonarola dan paa pengikutnya menganggap Firenze telah dilanda kemerosotan moral yang parah, dan masyarakat disana terlalu mengagungkan hal-hal keduniawian. Mereka bercita-cita mengembalikan Firenze berdasar pada kesucian nilai-nilai agama. Akhirnya Savonarola berhasil menggulingkan kekuasaan wangsa Medici, pada tahun 1495. Firenze pun dipimpin oleh pemerintahan teokratis. Masuknya pasukan perang Prancis di Italia pada 1494 dan berikutnya pada 1496, menjadi titik balik bagi kemajuan dan perdamaian wilayah semenanjung itu. Diduga, motif serangan itu demi kemegahan diri Raja Prancis, Charles VIII (1470-1498). Serbuan pasukan Prancis hampir tidak mengalami kesulitan berarti karena didukung beberapa penguasa di Italia.
       Pada 1500, Italia kembali diserang oleh Raja Louis XII (1462-1515), pengganti Charles VIII. Bersamaan dengan itu, pasukan Spanyol yang dipimpin Raja Aragon menyerbu pula ke Napoli. Pasukan Prancis dan Spanyol berhasil menaklukan wilayah Lombardia, kemudian Napoli. Pada 1501 Spanyol dan Prancis terlibat perang dan saling berebut wilayah kekuasaan. Akibatnya, Italia menjadi wilayah paling panas, penuh dengan perang, kekerasan, dan darah selama 50 tahun lebih. “Perimbangan kekuatan” yang berhasil dijalankan negara-negara kota Italia lewat Perjanjian Lodi, seketika hancur. Di mata Machiavelli, nasib tragis bangsa Italia setelah dikuasasi Prancis dan Spanyol terutama karena mereka tidak membangun pasukan bersenjata sendiri dan terlalu percaya dengan jalan diplomasi. Pada 1498, pemerintahan teokratik Savonarala berhasil digulingkan oleh Piero Soderini, salah seorang sahabat Machiavelli. Firenze berubah menjadi negara Republik. Atas jasanya ikut membentuk angkatan bersenjata di Firenze, Maciavelli diangkat sebagai Sekretaris Dewan Republik, merangkap Kanselir Republik Firenze. Tugas utama Machiavelli dalam Dewan Republik, selain mengurus administrasi dalam negeri, adalah menyiapkan Komisi Sepuluh untuk Urusan Perang. Komisi ini bertanggung jawab  atas masalah keamanan Firenze, mengurus pasukan perang Republik Firenze dan membina hubungan baik dengan negara tetangga. Sehubungan dengan tugasnya itu, Machiavelli kemudian melakukan serangkaian kunjungan diplomatik ke berbagai negara tetangga. Pada 1500 machiavelli bertemu dengan raja Louis XII, Raja Prancis, untuk meminta bantuannya mengalahkan Pisa. Selanjutnya, Machiavelli juga menjalin hubungan baik dengan Paus Julius II, Maximilian (1459-1519) Kaisar Romawi Suci, Raja Ferdinand (1452-1516) dari Spanyol hingga para penguasa Turki. Dari seluruh tokoh yang ditemuinya selama bertugas sebagai Kanselir, yang paling dikagumi Machiavelli adalah Cesare Borgia (1476-1507), putra Paus Alexander VI).           
Sosok Penguasa dalam Politik Kekuasaan
       Sekilas, isi Il Principe terasa rumit namun sebenarnya sederhana saja. Seluruh isi buku ini sesungguhnya ingin menunjukkan bagaimana seorang penguasa harus bertindak untuk merebut, mempertahankan, dan menghindari hilangnya kekuasaan. Penguasa yang baik, menurut Il Principe, harus mampu memadukan watak singa dan rubah. Ia harus sekuat singa sekaligus selicik rubah, sebab singa disegani karena kekuatannya namun sering tidak waspada bila mengahadapi perangkap, sedangkan rubah sanggup menghadapi perangkap tapi tidak dapat membela diri bila diserang serigala. Sejarah mebuktikan penguasa yang semata mengandalkan kekuatan, akan mudah runtuh oleh tipu daya dan kelicikan. Sebaliknya, bagi penguasa yang pandai bertipu daya, peluang untuk menang masih terbuka lebar. Penguasa yang bersifat rubah akan berlagak takluk pada penguasa yang punya kekuatan besar. Namun di saat yang tepat, ia akan berbalik menghancurkannya. Cara inilah yang dipakai oleh Paus Alexander VI ketika mengusir pasukan Prancis dari Italia. Ajaran tentang penguasa ideal tersebut bersumber dari kisah Achilles, sang pahlawan dalam legenda Yunani Kuno. Dalam kisah itu diceritakan bagaimana Achilles menjadi raja yang digdaya setelah menimba ilmu perang pada Chiron, mahluk setengah manusia setengah kuda. Patuh pada hukum dan moral dianggap sebagai suatu keharusan dan cara yang paling terpuji bagi penguasa, namun cara ini terbukti  kerap tidak memadai untuk mengatasi kesulitan. Oleh sebab itu, penguasa yang ingin sukses, harus melengkapi diri dengan cara licik dan kejam, yang biasa dipakai binatang dalam mempertahankan hidupnya, dan sanggup menerapkan cara-cara tersebut dengan tepat. Penguasa tidak boleh menyimpang dari sifat-sifat baik, tetapi jika perlu ia boleh memakai cara licik dan kejam. Ajaran Machiavelli tersebut sesuai dengan pandangan umum masa Renaissance bahwa manusia dapat menentukan nasibnya sendiri. Seseorang bisa berhasil dalam hidupnya bila mengandalkan virtue (keutamaan), dan tidak lagi berharap pada fortune (kemujuran). Keunggulan virtue atas fortune tersebut, dilambangkan oleh Machiavelli sebagai pria perkasa mampu memikat bahkan menundukkan seorang wanita. Virtue dalam Il Principe bisa diartikan sebagai sikap aktif penguasa demi efisiensi politik. Faktor penentu bagi tegak dan kukuhnya kekuasaan adalah kemampuan dan ketrampilan penguasa. Penguasa yang baik harus mampu mengelola kemujuran, dan menganggap kemujuran tak lebih dari kesempatan (chance).



Negara Kekuasan dan Negara Kerakyatan
       Ada dua jenis pemerintahan yang umum berlangsung, Kerajaan dan Republik. Ciri utama negara kerajaan adalah kekuasaannya yang turun temurun dan berlaku seumur hidup. Oleh sebab itulah, Raja umumnya mempunyai kekuasaan yang mutlak dan tak terbatas. Karena itulah, negara yang berbentuk kerajaan sering disebut negara kekuasaan. Sebaliknya, ciri negara republik adalah kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat (respublica), oleh sebab itu disebut negara kerakyatan. Kekuasaan penguasa di negara republik bersifat terbatas, tidak seumur hidup dan diatur dalam konstitusi. Para penguasanya dipilih berdasarkan kemampuan dan keutamaan, bukan berdasarkan hubungan darah. Di Italia juga ada bentuk negara yang sangat khas, bukan Kerajaan maupun Republik, yaitu Negara Kepausan. Pemimpinnya disebut Paus. Kekhasan negara ini karena wewenangnya berdasarkan nilai-nilai agama Katolik, sehingga sering disebut juga Negara Gereja. Il Principe (Politik Kekuasaan) hanya membahas seluk beluk kekuasaan di negara kerajaan. Seluk beluk negara Republik, yang merupakan pilihan pribadi Machiavelli, dibahas dalam bukunya yang lain, Discorsi (Politik Kerakyatan). Lika liku perkembangan kekuasaan Negara Kepausan hanya sedikit dibahas dalam kedua buku tersebut, walaupun sebenarnya Machiavelli tidak bersimpati dengan berbagai tidak-tanduk Paus. Alasannya sederhana saja. Saat itu Paus yang berkuasa adalah Leo X, salah seorang keturunan Medici. Machiavelli khawatir rencana tersembunyinya dibalik pengiriman Il Principe, akan gagal bila mengulas panjang lebar tentang Negara Kepausan.
     Negara kerajaan terbagi atas kerajaan warisan dan kerajaan baru. Kerajaan warisan umumnya telah berdiri sejak lama dan penguasanya telah turun temurun beberapa generasi. Kerajaan baru bisa berupa kerajaan yang memang baru saja berdiri atau berupa gabungan negara bagian ke dalam kekuasaan negara penakluknya. Para penerus kerajaan warisan umumnya tidak akan menemukan kesulitan dalam memerintah. Tugas utama mereka adalah memelihara pranata dan lembaga lama yang masih cocok, kemudian menyesuaikannya dengan kondisi saat itu. Gejolak besar sering terjadi di kerajaan baru, terutama yang merupakan gabungan. Kerajaan baru umumnya terbentuk karena rakyat muak dengan penguasa lama yang bersifat menindas, kemudian memberontak dan menggantikannya dengan raja baru. Namun, umunya penguasa baru tersebut demi mengukuhkan kekuasaannya, justru akan menindas rakyatnya lebih kejam lagi. Rakyat yang merasa terkecoh akan kembali melawan. Berbagai gejolak yang terjadi di kerajaan baru bukan hanya tergantung pada tingkah laku para penguasa baru, tapi memang sifat alamiah dari negara tersebut. Oleh sebab itu, sebelum merebut kekuasaan, sebaiknya calon penguasa mempelajari keadaan negara yang ingin direbutnya.
      Untuk sementara sekian dulu postingan kali ini,  nanti akan dilanjutkan kembali mengenai  tipe penguasa.